Monday, July 5, 2021

PERTANDINGAN YANG BAIK



    Osterweis et al (1984) dalam bukunya Bereavement: Reactions, Consequences, and Care bilang bahwa respon langsung yang paling umum ditemui terhadap kehilangan (karena kematian) adalah denial. Kübler-Ross dalam Five Stages of Grief-nya juga naro denial ini sebagai fase pertama dalam grieving, walaupun agak susah meng-identify reaksinya by stages. Grieving sendiri adalah serangkaian perasaan yang dialami berdasarkan pengalaman subjektif terhadap kondisi kehilangan.

    Balik ke buku yang awal: Tugas utamanya the bereaved, atau yang berduka adalah untuk berdamai dengan situasi yang sudah nggak bisa dirubah dan sesuatu yang nggak bisa dikontrol. Benar juga. Tapi kalau menurut saya, yang nggak bisa dirubah dan dikontrol itu situasinya. Kalau responnya masih bisa. Selanjutnya bukunya bilang lagi, pengalaman subjektif itu lebih punya peran nentuin reaksi seseorang, ketimbang faktor situasi eksternalnya.

    Trus gimana caranya berdamai dengan salah satu keadaan yang bisa dibilang uncontrollable shock ini? Sebelumnya, si buku juga membahas tentang suatu eksperimen yang findingnya: subjek yang diekspos sama uncontrollable shock lebih banyak nunjukkin perilaku yang mirip dengan kriteria depresi mayor sesuai definisi DSM (Diagnostic and Statistical Manual), dibanding mereka yang diekspos sama controllable shock. Menurut saya, balik lagi ke pengalaman subjektif tadi yang nentuin reaksi. Namanya pengalaman subjektif, tentu saja berbeda-beda tiap orang, termasuk waktu yang dibutuhkan untuk grieving.

    Dalam kitab suci ada disebutin bahwa segala sesuatu ada waktunya. Ada waktunya untuk menangis/meratap. Isaac Newton bilang waktu itu absolut. Einstein bilang waktu itu relatif. Dua-duanya punya penjelasan akan konteksnya masing-masing. Yang lebih penting adalah gimana memberi waktu dan gimana respon dalam menjalani momen tersebut. Kerabat most likely akan menghibur dengan bilang take your time (untuk berduka), time will heal, which is nggak ada salahnya basically.

    Mungkin sempat terlintas: biar nggak larut dalam sedih, apa nggak usah diberi waktu aja sekalian? Menurut saya, ada dua hal. Pertama: agak susah kalau nggak berduka, ketika ditinggalkan orang yang dicintai untuk selamanya. Kedua: Kalaupun berhasil ditahan-tahan, tapi dalam diri masih ada rasa denial dan sedih terpendam, nanti bakal termanifestasi pas lagi ngelakuin hal-hal untuk ngalihin perasaan tesebut. Dan kadang manifestasinya can be worse karena unfinished feeling yang di-suppress terus-terusan. Jadi mendingan diberi waktu dan embrace semua perasaan itu.

    Tapi sampai kapan? Ini mungkin aspek absolut dari memberi waktu itu: ada startnya, ada endingnya. Endingnya kapan, itu yang relatif karena tiap orang beda-beda. Time will heal yes, tapi kalau berkabung terus-terusan dan berkubang dalam air mata yang sampai udah kering kubangannya tapi ogah naik, time can never heal no matter how much time it gives. Susah banget dong? “Nobody said it was easy” kalau kata Coldplay. Ini orang yang sudah bersama sampai setengah usia bahkan seumur hidup kita. Orang yang mungkin jadi alasan kita menikmati hidup. Tiba-tiba orang ini ga bakal ada lagi di dunia kita. Ini kok kayak rancangan kecelakaan? Sebelah mana rancangan damai sejahteranya? Apa kabar masa depan penuh harapan? Setidaknya pikiran serupa mungkin sempat terlintas.

    Tapi, ada lagi yang kitab suci bilang. Kita nggak bisa menyelami pekerjaan Tuhan, betapapun kita berlelah-lelah mencari jawabannya. Kita yang most likely udah ada di level perkembangan kognitif paling tinggi, Formal Operational, yang udah terbiasa berpikir dan bernalar secara sistematis, bakal cape sendiri kalau nurutin kepala untuk terus nyari kenapa dan kok bisanya. Segitu misterius pekerjaan tanganNya sampai bikin plot twist model gini. Bahkan sampai di tahap kita menyangsikan janjiNya karena nggak sesuai dengan yang dipahami (kayak paragraf sebelumnya itu). Atau mungkin sebaliknya: mengimani janji Tuhan, berdoa dan nyanyi berulang-ulang sampai alam bawah sadarnya terbuai dengan apa yang diimani, itu yang harus terjadi – lupa kalau sebenarnya kita sedang menyampaikan permohonan, bukan sedang bertitah.

    Trus harus ngapain? Ga percaya, salah. Percaya, salah. Pertama, terima dulu kenyataan kalau yang terjadi bukan sesuai dengan pemahaman kita akan janji Tuhan atau dengan yang kita imani. Nggak usah diterusin mikirin alasannya. Kalaupun ketemu jawabannya, nggak bakal bisa merubah yang udah terjadi juga. Tapi gimana mau terima kenyataan kalau hampir setiap saat terbayang-bayang semuanya tentang the deceased, atau sosok yang sudah pergi ini?

    Ya itulah kenyataan baru yang harus dihadapi. Si buku juga bilang, bahkan pada orang-orang yang sudah mampu beradaptasi dan lebih stabil, rasa sakit karena kehilangan itu may remain for a lifetime. Tapi we will not let it consume us. Jangan sampai rasa sakit dan bayang-bayang itu mengganggu homeostasis (keseimbangan internal tubuh yang memastikan tubuh berfungsi normal) kita secara berkepanjangan.

    Kedua, menjalani grieving sebagai sebuah healing process. Perasaan sedih dan kehilangan adalah reaksi normal dalam proses ini. Mengalami semua perasaan tersebut membuat kita bisa move on lanjutin hidup. Tapi balik ke atas lagi, bahwa itu semua ada waktunya dan tiap orang berbeda-beda periode grievingnya. Selambat apapun prosesnya, jangan sampai stuck. Masih kata buku: Reaksi marah, self-blame, dan depresi yang terus-terusan itu masih dibilang normal. Yang nggak normal itu mereka yang masih actively resists engagement with his or her present life setelah sekian lama. Yang udah nyerah “What is there for me now?”. Nggak ada movement karena emang mereka actively nggak mengizinkan any movement. Keadaan ini bisa mengindikasikan pathological grief dan belakangan uda dimasukkin DSM sebagai Prolonged Grief Disorder. Makanya penting banget untuk tidak menyerah dan memiliki keyakinan untuk pulih lagi.

    Sampai sini, semoga semua pertandingan-pertandingan “sengit” antara apa yang kita tahu dan kita rasain, udah jadi pertandingan yang baik ya, yang bisa bikin kita berdamai dengan (respon diri kita terhadap) situasi seperti ini.

    Halo Papa, tulisan ini adalah bentuk refleksiku. Terus doakan kita ya dari atas sana :)



Friday, June 30, 2017

GrabHitch Car Review – Definisi Baru “Pengemudi” dan “Penumpang”


Apa sih GrabHitch itu? GrabHitch adalah layanan perjalanan dimana pengemudinya memiliki rute yang searah dengan penumpang. Jadi ini berbeda dengan GrabShare atau UberPool, dimana yang memiliki rute searah adalah para penumpang yang kemudian dipasangkan dalam satu perjalanan, gak peduli rute pengemudinya. Layanan GrabHitch awalnya menggunakan motor yang dikenal dengan GrabHitch Bike. Belakangan sekitar bulan Mei 2017, GrabHitch meluncurkan layanan yang sama namun menggunakan mobil, yaitu GrabHitch Car. Kalau buka appnya, bakal kelihatan disitu dengan nama: GrabHitch (Nebeng) Bike dan GrabHitch (Nebeng) Car.

Pengemudi GrabHitch Car (istilahnya hitch driver) bukan pengemudi komersial seperti pengemudi taksi online pada umumnya. Mereka sebagian besar adalah para profesional, jadi gak dengan sengaja nyediain diri buat jadi pengemudi. Mereka bebas nentuin order yang mau diambil berdasarkan kecocokan lokasi dan waktu penjemputan penumpang  dengan jadwal mereka. Jadi, kalau pengemudi GrabHitch Car mengambil sebuah order, maka yang dijemput nanti (istilahnya hitch buddy) akan diantar (baca: diberikan tebengan) sampai tempat tujuan yang disepakati. 

Biayanya juga lebih murah dibandingkan taksi online biasa dan anti high fare, karena penumpang hanya dikenakan biaya pengganti bensin, parkir, tol yang memang sehari-hari dikeluarkan pengemudi, baik ada penumpang atau tidak. GrabHitch Car sebenarnya adalah layanan social carpooling, dimana how much a driver will earn gak menjadi faktor utama kenapa seorang pengemudi GrabHitch Car ngedaftarin mobilnya atau mutusin untuk ngambil order.   

Pengemudi GrabHitch Car juga bukan yang model stand by terus di jalan nungguin order masuk. Kalau mau ngelakuin perjalanan, perlu advanced booking dari appnya untuk masukkin lokasi dan waktu penjemputan, lalu tunggu sampai dapat notifikasi adanya pengemudi GrabHitch yang mau menjemput (baca: memberikan tebengan). Jika menggunakan taksi online biasa, lokasi penjemputan sifatnya mutlak dan harus disanggupi oleh pengemudi yang mengambil order tersebut. 

Di GrabHitch Car, bisa aja terjadi penumpang tak kunjung dapat konfirmasi  sampai 15 menit sebelum waktu penjemputan. Beberapa saat kemudian, ada calon pengemudi yang SMS apakah bersedia menunggu 2 jam lagi karena dia masih ada kerjaan di kantor. Atau penumpang yang di-SMS apakah bersedia untuk dijemput di kantor pengemudi (yang berdekatan dengan lokasi penjemputan – tapi  kalau jalan sambil nenteng-nenteng tas, laptop, tas makanan, dan kue ulang tahun ya lumayan juga) karena simply dia gak lewat situ. Intinya, lokasi dan waktu penjemputan di GrabHitch Car sifatnya lebih fleksibel karena bergantung dari jadwal dan kesediaan pengemudi. Jadi, jika kalian harus banget dijemput sesuai waktu penjemputan atau gak bisa kemana-mana selain dijemput di lokasi yang dimasukkin, lebih baik pakai layanan taksi online biasa atau sekalian aja taksi konvensional.

                Kalau di appnya, GrabHitch Car membolehkan penumpang membawa sampai 3 orang lagi. Kecuali kalian dan teman-teman/keluarga kalian sudah paham betul fleksibilitas layanan ini (baca: ketidakpastian lokasi dan waktu penjemputan, didahului oleh ketidakpastian bakal dapat pengemudinya atau gak), saya juga masih menyarankan untuk menggunakan layanan taksi online biasa jika ada lebih dari 1 penumpang. Keterangan jumlah penumpang pada waktu booking juga penting. Jika terjadi penambahan jumlah penumpang, langsung infoin pengemudi. Gak mau kan, kalian request untuk 1 orang lalu mendadak ketambahan 2 orang. Karena gak infoin pengemudinya kalo penumpang jadi 3 orang, kalian tahunya belakangan kalau pengemudinya ternyata membawa serta istri dan ayahnya juga. Apart from that, menurut saya pengemudi seperti di atas adalah contoh bahwa budaya berbagi masih cukup dirasakan, sebagai cerminan dari bentuk keramahan dan tolong-menolong.

                Ridzki Kramadibrata, Managing Director Grab Indonesia, juga mengatakan bahwa layanan GrabHitch Car adalah platform yang sesuai dengan budaya berbagi, dimana budaya tersebut diminati di Indonesia (dikutip dari TribunNews). Sebelum budaya berbagi ini terwujud, ada faktor yang mendasarinya, berkaitan dengan apa yang ingin didapat dari berbagi perjalanan tersebut. Ini  yang menjadi alasan seorang pengemudi GrabHitch Car menentukan order yang akan diambilnya, yang saya rasa lebih dari sekedar kecocokan waktu dan lokasi penjemputan.

Salah satu persamaan antara pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya adalah mereka sama-sama commuters. Ada sekian jam yang dihabiskan di jalanan untuk menuju atau pulang dari tempat kerja. Macet yang sering dialamin para commuters selama perjalanan bisa lumayan banyak menguras energi. Rasanya gak cuma uang aja yang kebuang, tapi juga waktu dan pikiran. Gabungan ketiganya bisa nyebabin apa yang disebut commuting stress atau stres selama perjalanan menuju atau dari tempat kerja. Koslowsky (1995) dalam bukunya: Commuting Stress, menggambarkan salah satu cara menghadapi commuting stress adalah menggunakan palliative tactic that focus on regulating emotional distress. Ada banyak cara lagi di dalamnya, salah satunya adalah diverting attention atau mengalihkan perhatian.

Sadar atau tidak sadar, seseorang butuh perhatiannya teralihkan dari sumber stres agar pikirannya gak terpaku pada satu hal saja. Apa pun yang dilakuin untuk mengalihkan perhatian sifatnya adalah membuat seseorang nikmatin sesuatu yang lain dengan rileks sehingga bisa lupa sejenak sama sumber stres. Dalam situasi commuters yang seorang diri melakukan perjalanan dan sedang terjebak kemacetan di mobil, gak banyak yang bisa dilakuin untuk mengalihkan perhatian selain menyibukkan diri dengan gadget. Biasanya sih end up dengan ngeliat lagi ke kaca depan mobil setelah udahan sama gadget dan membatin “hah kok masih macet”.

Ketika gadget gak cukup optimal untuk mengalihkan perhatian, diperlukan pengalih perhatian yang lebih interaktif (baca: lawan bicara) sepanjang perjalanan, terutama di kala macet. Interaksi yang sifatnya face to face lebih bisa membuat seseorang merasa “senasib” dengan lawan bicara daripada interaksi yang sifatnya virtual (dalam situasi ini berarti senasib sama-sama kena macet)Dan karena merasa senasib itu secara gak langsung mengakui adanya kesamaan, sebuah obrolan lebih mungkin berkembang dengan lawan bicara yang dirasa punya kesamaan, sekalipun yang diobrolin pertama adalah meratapi kemacetan. 

Awalnya mungkin hanya sebatas kebutuhan nemuin pengalih perhatian alternatif, tapi begitu mereka merasakan (baik sadar atau tidak sadar) perhatiannya benar-benar teralihkan, ketika melihat ke kaca depan mereka tidak lagi membatin yang sama. Bisa aja lagi mikirin topik obrolan apalagi yang mau diobrolin atau bahkan mikirin siapa lagi yang sama-sama dikenal ketika mereka ternyata kenal dengan 1 atau beberapa orang yang sama. Saat itu terjadi, seseorang di samping itu gak sekedar jadi lawan bicara, tapi lebih sebagai teman yang nemenin selama perjalanan.

                 Ini sejalan sama apa yang diyakini Grab, ada sebagian commuters yang menganggap bahwa transportasi bukanlah sekedar transaksi, tapi bisa menjadi sebuah kesempatan untuk mendapatkan teman sesama commuters (dikutip dari DealStreetAsia). Namanya kesempatan, bisa kejadian, bisa nggak. Semua tergantung dari kualitas interaksi face to face yang bisa terjadi selama di mobil. Sebelum interaksi tersebut terjadi, harus ada kebutuhan akan pengalih perhatian alternatif yang dirasakan commuters, yang akhirnya mempertemukan mereka di dalam satu mobil sebagai seorang pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya.

                Persamaan kebutuhan tersebut bisa menjadi faktor yang mendasari terwujudnya budaya berbagi itu, bahwa pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya sama-sama butuh lawan bicara yang bisa mengalihkan perhatian dari kemacetan. Karakteristik dari budaya tersebut, sebagai nilai yang cukup mengakar dalam masyarakat, tanpa sadar mengikis gap antara pengemudi dan penumpang, membuat mereka terlihat lebih sebagai sepasang teman perjalanan, the driver and the buddy. Memang yang terjadi bisa saja gak selalu demikian. Gak ada tuh mikirin pengalih perhatian sebelumnya. Simply karena biaya lebih murah aja (dari sisi penumpang) atau sebatas ngisi kursi kosong dan kebetulan jadwalnya pas (dari sisi pengemudi GrabHitch Car). Atau niat untuk ngurangin jumlah kendaraan dan polusi (bisa datang dari sisi keduanya), walaupun manfaatnya gak langsung bisa dirasain. 

               Apa pun alasannya, kesempatan terjadinya interaksi itu selalu ada. Dan ketika interaksi tersebut lebih diingat daripada perjalanan itu sendiri, ada alasan kuat untuk gak bepergian seorang diri lagi pada perjalanan berikutnya. Mampukah GrabHitch Car menjadi salah satu alasan kuat tersebut, dengan terus mempertemukan sesama commuters yang memiliki kebutuhan yang sama? 

Saturday, June 3, 2017

Tips Aman Naik Taksi (Post from 2012)

Ketika Anda mengetahui bahwa ada orang lain mencemaskan Anda saat Anda menunggu taksi, apa menurut Anda yang ada di pikiran orang tersebut? Pertama, mungkin hari sudah larut malam. Kedua, hujan mulai mengguyur. Ketiga, keduanya terjadi bersamaan.

"Ya udahlah, ini udah telpon taksinya kok ntar lagi dateng"

"Iya ini masih ada satpam kok di bawah tenang aja"

Mungkin inilah sebagian respon yang kerap kita berikan terhadap mereka yang mencemaskan kita, atau paling tidak mereka yang suka berpesan kepada kita agar hati-hati dalam mencari taksi. Saya yakin mereka berpesan seperti itu bukannya tanpa alasan. Tidak sedikit kejahatan yang terjadi pada saat menunggu taksi atau bahkan ketika sudah di dalam taksi.
Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan supaya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan selama menunggu taksi maupun ketika sudah berada di dalamnya.

Apabila sudah malam dan Anda takut untuk berdiri menunggu taksi sendirian, mintalah satpam di kantor atau petugas lainnya untuk mencarikan Anda taksi sehingga Anda tidak perlu berdiri di pinggir jalan menunggu. Imbalan 2 - 5 ribu menurut saya cukup sebagai ganti mereka mencarikan taksi. Alternatif lain adalah memesan taksi via telepon. Tinggal menyebutkan alamat tempat Anda dijemput dan operator akan memberikan estimasi berapa lama taksi akan tiba di tempat Anda. Dalam situasi hujan mengguyur atau sehabis hujan, oeprator pun masih melayani telepon Anda walaupun paling cepat 45 menit atau 1 jam taksi bisa tiba di tempat Anda.

Apabila Anda harus berdiri menunggu taksi, berdirilah di tempat yang terang, atau tempat yang terlihat (misalnya dekat pos satpam atau dekat tukang berjualan). Selain memudahkan taksi kosong melihat Anda, berdiri di tempat-tempat tersebut membantu menghindarkan Anda dari hal-hal tak terduga yang mungkin menimpa. Selain mereka yang bertanya tentang informasi jalanan/gedung, jangan meladeni kendaraan yang menepi kepada Anda. Ketika menunggu taksi, pernah ada mobil yang menepi ke arah saya dan membuka kaca. Awalnya saya mengira mobil tersebut menanyakan alamat. Ternyata seorang cowok iseng yang mengajak kenalan.

Ketika menunggu taksi, sebisa mungkin jangan terlalu terfokus kepada ponsel Anda karena perhatian bisa tertuju hanya kepada benda tersebut dan tidak awas akan situasi sekitar. Plus Anda bisa kelewatan taksi kosong yang baru saja melintas di depan hidung Anda.

Khusus untuk taksi Blue Bird, ketika taksi biru kosong tersebut sudah menepi ke arah Anda, saya biasa memperhatikan kode di lambung taksi tersebut, kemudian mempertimbangkannya sesuai tempat tujuan saya. Namun hal ini tidak selalu perlu dilakukan ketika Anda hendak mencari taksi Blue Bird, terutama ketika sedang buru-buru. Hanya saja, beberapa taksi tidak mau menuju daerah-daerah tertentu yang menurut mereka sudah terlalu jauh dari pool. Dua kali saya ditolak oleh taksi dari pool Kemayoran untuk menuju tempat tinggal saya.

Khusus untuk taksi Express (atau mungkin taksi lainnya juga), apabila Anda sudah berada di dalam taksi, pastikan Anda mengunci sendiri pintu tempat Anda masuk, dan pintu belakang sebelahnya karena setahu saya taksi Express tidak memiliki sistem pengunci pintu otomatis.

Ketika sudah berada di dalam taksi, selelah apapun Anda, usahakan jangan sampai tertidur di dalam taksi, kecuali ada orang lain yang juga bersama Anda. Beberapa supir taksi segan membangunkan penumpangnya untuk bertannya mau lewat mana sehingga mereka mengambil jalan sesuai pemikiran mereka. Ada baiknya untuk langsung memberitahukan rute mana yang akan diambil begitu Anda masuk ke dalam taksi.

Apabila supir taksi tiba-tiba menepikan mobilnya, tanyakan untuk keperluan apa. Biasanya mereka mau membeli minum, membetulkan kap bagasi yang kurang kencang, atau ingin buang air kecil. Di luar dari alasan tersebut, Anda perlu hati-hati dan pastikan pintu tetap terkunci dari dalam.

Di luar hal-hal di atas, ada baiknya Anda selalu berhati-hati dari memilih taksi sampai sesaat sebelum Anda turun. Yang juga penting adalah pastikan tidak ada barang-barang Anda yang tertinggal di taksi ketika hendak turun :)

The Forbidden Pleasure


Tryon Edwards once said: “Sinful and forbidden pleasures are like poisoned bread; they may satisfy appetite for the moment, but there is death in them at the end”. The ideal one is where the baker does not display this kind of bread in the store. Well, ideal things do not always happen. Knowing the bread is poisoned, there is a hungry consumer that decides to take bites of the bread. After his second or third bites, he does not want to finish it. Another consumer is a very hungry one that keeps enjoying the bread until it is finished.

There are reasons why some pleasures are classified as forbidden. I believe the purpose is to avoid death at the end as well, though it does not always relate to the loss of life. However, a recent study done by Truong et al in 2013: An unforgettable apple: Memory and attention for forbidden objects showed that when individuals are forbidden from everyday objects, our minds and brains pay more attention to them. Imagine how difficult it can be when the object now is a pleasure, something we are look forward to enjoying it. 

 When men lay eyes on a woman who successfully had their undivided attention, I might say they are stupefied for a moment. Louann Brizendine in one of her book, The Male Brain, indicates that when men encounter this situation, they are practically oblivious to everyone but the woman. Suddenly, all they could think about was how to get her attention. Without being consciously aware of it, men were following the commands of their ancient mating brain. Since the process is rather “autopilot”, it is difficult for men to prevent this from happening in their mind. Now it depends on how much they let their logic involved here. It is when they decide how far this unconscious process takes them through, that is still considered acceptable, in relation to what they value most in life.

One easy example is to start being aware of each other’s relationship status. I bet when men are attracted to a woman, they will find out her relationship status – with or without the woman knowing it  so they can adjust what to do next. Ideally, only if both men and the woman are available can the process be developed further. However, knowing one or both are not officially available, sometimes the process does not necessarily end. Men’s ancient mating brain can try to unconsciously deceive them by blurring the definition of available and acceptable that encourages men to find out further whether she is “available”.

 That is why some men are tempted to start building interaction with the woman though, where she is obviously taken. The way they build interaction varies from a very obvious one – clearly show (only) to the woman – that makes her wonder does she make herself clear enough regarding her availability, to a very subtle one that requires a very detailed woman to notice such cues, which can also leave her wondering. In the latter, the woman can wonder the same, but before that, the more fundamental confusion is usually whether it is a cues or he is just trying to be nice.

During the initial stage of the interaction, men's logic continuously reiterates the consequences if they keep moving forward, but somehow they see this as 2 independent things: what they feel and what their logic try to warn them. This can be quite catastrophic if men let the process lulled them, where at the beginning it may seems nothing wrong. It is never easy though, as when the ancient mating brain’s desire is not fulfilled, men can start what Louann said as getting a primitive biological craving.  

A married man that seems to value the family most can feel so excited texting a woman using various emoticons, arranging their next meet up, where he just had the 13th wedding anniversary and maybe after kissing his wife goodnight. Or a newly-wed man can engage in a whole day virtual chat with a woman and close the chat with sending her a song “Something about Us”. Or another man that requests something to a woman, but he aborted it because he does not want his fiancée know.

                The above examples show how the unconscious process manifests in men’s behavior through different ways, sometimes neglecting the fact of being off the market and all the consequences behind. The dangerous part is when they start to develop feeling to the woman. It starts when they experience a feeling of excitement called lust, then sometimes it is mistakenly called as love, where actually it remains just a lust. Even if it is really a love feeling, I believe this is not what they anticipate when they started the interaction with the woman. Some men can finally confess the feeling to the woman that they love her, even if they base the confession on the lust feeling – but yes, sometimes it is difficult to differentiate between lust and love. Others decide not to confess anything, where they see no points of confessing something forbidden.

Recalling the poisoned bread analogy, now it depends whether men want to play the hungry costumer that decides to step back, or a very hungry one who continue to the next behavior manifestation. If they decide to step back, they will have to conquer all the craving inside and listen to the logic. Congratulations for understanding the existence of forbidden pleasure.  If they decide to continue, help yourself, but ask your conscience to consider this: You could have broken no heart, but you decided to have 2 hearts (or 3 including yours) broke at once.


Thursday, February 23, 2012

Pengendara Motor di Mata Mereka

Pengendara motor itu banyak jenisnya. Ada yang tertib berlalu lintas, ada juga yang kurang tertib. Mungkin hampir sebagian dari kita, pengguna jalan, pernah menemui pengendara motor yang tidak tertib ini - tidak terkecuali para supir taksi. Saya mengangkat topik ini karena bisa dibilang cukup sering saya mendengar komentar mereka tentang pengendara motor.

"Sudah nyalip, ngerem lagi...!!" Sambil membunyikan klakson, supir taksi ini juga ikut mengerem agak mendadak.

Saya akui ulah pengendara motor tersebut cukup membahayakan karena motor tersebut mengerem setelah merebut jalur milik taksi tersebut.

Pernyataan di bawah ini sempat menjadi status update di akun Facebook saya, lengkap dengan pernyataan lain yang meng-counter-nya, diberikan oleh teman saya yang juga adalah pengendara motor:

"How a taxi driver perceives motorcycles in Jakarta: (setelah diklaksonin motor di belakangnya), 'Waah motor-motor ini suka seenaknya, dipikir jalannya sendiri, sudah gitu kalau nyenggol, galak & ngomel-ngomel...haduuh pusing saya!!' (tetap melaju, baru terhindar dari motor-motor yang sudah mepet di kiri-kanannya)"

"How a biker perceives taxi in Jakarta: "Waah ini supir taksi bisa bawa mobil atau nggak sih, dipikirnya jalanannya sendiri, bawa mobil nanggung nggak kasih orang mau lewat, mau masuk jalur lain nggak pakai spion, jadinya motor mesti menghindar, klaksonin aja deh!"

Intinya, selalu ada pengendara yang kurang tertib berlalu-lintas.

Bagaimana dengan pengendara motor yang suka menyelip dari sebelah kanan pengemudi?

"Iya ini saya pepetin aja ke kanan biar motor nggak bisa lewat." (Terjadi ketika sedang mengantri di lampu merah, setelah barusan ada motor yang berusaha menyempil dari kanan supaya bisa maju dan mengantri di depan. Motor itu berhasil, tapi untuk beberapa saat si supir dan pengendara motor saling memelototi).

"Motor itu bukan di kanan, ada jalurnya sendiri kan di kiri (sambil menunjuk ke arah kiri)! Kan repot kalau nyenggol spion. Sudah (pengendara motornya) kabur, spion ini harus ganti sepasang lagi, kan nggak murah Mbak."

Saya hanya senyum-senyum saja menanggapi omongan si supir. Motor memang lajurnya di kiri, tapi ketika sedang mengantri lampu merah, mereka cenderung mencari celah untuk menyelip supaya bisa berada di antrian paling depan, tanpa memandang lagi kiri atau kanan.

Yah, memang harus pintar-pintar berlalu-lintas di Jakarta. Kadang kita sendiri sudah tertib dan ekstra hati-hati, namun orang lain?

"Lebak Bulus? Haduh..."

Ya. Saya rasa itu yang ada di pikiran sebagian supir taksi setelah saya menyebutkan tujuan perjalanan, Lebak Bulus. Beberapa langsung minta maaf - menolak dengan berbagai alasan, antara lain jauh, mau pulang ke pool, mau jemput penumpang lain, dan sebagainya. Saya lebih menghargai mereka yang menolak di depan daripada yang mengiyakan dan akhirnya sedikit merusak perjalanan pulang saya.

Tadi malam, saya pulang menggunakan taksi Blue Bird. Seperti biasa, saya memerhatikan kode di pintu taksi seraya taksi itu meminggirkan mobilnya. SE ****. Saya cukup sering mendapatkan taksi dari pool Halim ini dan semua supirnya baik-baik, termasuk supir dengan pangkat ketua grup aktif yang juga pernah saya dapat dari pool ini (Terbaca di identitas supir dan ada tanda bintang merah).

Shit happens. "Lebak Bulus ya, haduh..." Itu reaksi supir setelah mendengar tujuan yang saya sebutkan.

Saya menjawab,"Iya. Kenapa Pak, nggak bisa?" Saya sudah berpikir akan turun dari taksi ini dan mencari taksi lain.

Tetapi akhirnya supir itu menjawab,"Oh bisa bisa (Seolah berusaha meyakinkan supaya saya nggak turun dari taksinya), tapi maceeeet..." (Menyebut 'macet' dengan nada tinggi sambil menyeringai).

Mendengar jawaban 'lucu' tersebut, saya berkomentar dalam hati, "Pak kalo ngga mau macet, nggak usah jadi supir taksi. Buka warung aja di depan rumah."

Macet itu seharusnya sudah menjadi makanan sehari-hari supir taksi karena yang dihadapi adalah jalanan.

"Nanti lewat Sudirman, kemudian Antasari ya Pak."

Tak ada komentar. Saya beranggapan rute saya sudah jelas karena tak ada pertanyaan maupun sanggahan.

Anda juga tetap perlu memerhatikan jalan yang dilalui sekalipun sudah menyebutkan mengambil rute mana, lewat mana dan sudah diiyakan supir taksi. Jawaban iya tersebut tidak berarti dia paham, dan yang kedua, tidak berarti dia 'setuju'.

"Pak nanti belok kanannya di lampu merah Taman Menteng ya, yang ada 711. Nanti di 711 berhenti sebentar."

"Oh 711. Itu kan harus nyeberang?"

"Nggak usah Pak, kan bisa belok kanan dan berhenti di situ sebentar, jadi nggak usah nyeberang."

Namun di lampu merah sebelum lampu merah yang dimaksud, dia sudah ambil ancang-ancang mau belok kanan.

"Pak kita kan masih lurus, 711 nya kan masih di depan?!"

Di Sudirman. Saya biasa mengambil rute Antasari karena relatif lebih tidak macet dibanding rute-rute lainnya.

"Pak nanti ambil jalur lambat ya, kita lewat Antasari." Saya mengingatkan supir taksi yang belum mengambil ancang-ancang untuk masuk jalur lambat yang sudah tidak jauh lagi itu.

Supir taksi menjawab, kali ini terdengar logat Jawa di jawaban, atau lebih tepatnya sanggahan berikut,"Loh Antasari ini ntar ndak dibuang ke kiri, ke Kemang??" Terdengar nada keberatan juga, sementara taksi tersebut berada dalam posisi tanggung antara mau lurus atau masuk jalur lambat. Mungkin itu penyebab mobil belakang membunyikan klaksonnya.

"Nggak Pak, bukan yang di situ yang ditutup. Lagian dia ditutupnya malem banget, kalo jam segini belom!"

Komentar saya dalam hati,"Pak, saya sama Bapak lebih sering saya yang lewat Antasari loh! Jadi Bapak nggak usah sok tahu deh!"

Ternyata belum berakhir di situ. Tak berapa lama, HP sang supir berbunyi. Supir taksi yang sopan akan minta izin dulu kepada penumpang untuk menerima panggilan dan saya selalu mengizinkan. Yang ini? Sama sekali tidak dan pembicaraan si supir dengan lawan bicara membuat saya geleng-geleng kepala.

"...iya nih, setres dapet yang ke Lebak Bulus..."

Ya sudah, saya menikmati saja sisa perjalanan sampai akhirnya tiba di rumah.

Saya nggak bermaksud komplain di sini, hanya ingin membagikan pengalaman. Lain kali kalau Anda mendapat supir yang kira-kira tidak rela mengantar ke tujuan Anda, jika masih memungkinkan, lebih baik keluar dari taksi dan cari taksi lain saja.

Informasi pool taksi Blue bird - Jakarta

Mungkin ini hanya kebiasaan saya. Setiap saya naik taksi Blue Bird, saya perlu tahu taksi tersebut berasal dari pool mana. Ini memberikan saya gambaran kira-kira daerah mana yang dikuasai supirnya. Contohnya, untuk pulang ke rumah, saya lebih tidak kuatir kesasar dengan taksi kode L.. dibanding dengan taksi kode K... karena yang satu poolnya di Pondok Cabe, yang satu lagi di Kelapa Gading. Asumsinya, supir harusnya menguasai daerah dekat pool taksinya, kecuali supir yang baru bergabung. Beberapa taksi Blue Bird juga dilengkapi dengan perangkat GPS. Secanggih-canggihnya perangkat tersebut, saya lebih senang kalau supirnya juga bisa mengerti jalan tanpa menyetir dengan bingung-bingung.

"Aduh maaf ibu ya, harusnya tadi belok kanan nih kalo dari GPSnya, saya kelewatan tadi"

Pool sebuah taksi Blue Bird dapat diketahui dari dua kode huruf di pintu taksi, selain juga dengan bertanya langsung kepada supirnya. Berikut informasi tentang kode dan pool yang saya dapatkan melalui browsing maupun bertanya langsung kepada supirnya:

A..: Kemayoran. Saya beberapa kali ditolak oleh taksi ini untuk tujuan ke Lebak Bulus, dan saya maklum
B...: Mampang Prapatan, berada tepat di seberang Hotel Maharani
C...: Tanah Kusir
D...: Kramat Jati
E...: Daan Mogot
F...: Rawa Buaya, Cengkareng
G...:Narogong
H...: Cimanggis, Depok
I...: Cipulir
J...: Perigi, Bintaro
K...: Kelapa Gading
L...: Pondok Cabe
M...: Japos, Tangerang
N...: Penggilingan
O...: Ciputat
P...: Puri
R...: Raden Inten
S...: Halim
T...: Pondok Cabe
X...: Kalibata
Y...: Lebak Bulus, sebelah Klinik Mata Nusantara. Ini adalah pool yang belum lama dibuka.

Khusus untuk pool di mal, salah satu mal yang cukup ramai taksi Blue Birdnya adalah Cilandak Town Square (Citos). Beberapa kali saya menunggu taksi di mal ini dan tidak pernah kesulitan mendapatkan taksi Blue Bird. Petugas Blue Bird juga selalu stand-by disini. Sementara di satu mal lainnya yang tidak jauh dari Citos, saya harus mengantri selama kurang lebih 20 menit untuk menunggu taksi Blue Bird. (Memang ini belum seberapa dibandingkan mengantri taksi di Plaza Semanggi atau mal lainnya sewaktu/sehabis hujan; saya hanya mencoba memberi perbandingan). Menurut saya, ini dikarenakan Citos cukup strategis sebagai tempat transit untuk kembali melanjutkan perjalanan (dekat dengan akses tol maupun jalan-jalan utama seperti T.B. Simatupang dan Fatmawati).