Monday, July 5, 2021

PERTANDINGAN YANG BAIK



    Osterweis et al (1984) dalam bukunya Bereavement: Reactions, Consequences, and Care bilang bahwa respon langsung yang paling umum ditemui terhadap kehilangan (karena kematian) adalah denial. Kübler-Ross dalam Five Stages of Grief-nya juga naro denial ini sebagai fase pertama dalam grieving, walaupun agak susah meng-identify reaksinya by stages. Grieving sendiri adalah serangkaian perasaan yang dialami berdasarkan pengalaman subjektif terhadap kondisi kehilangan.

    Balik ke buku yang awal: Tugas utamanya the bereaved, atau yang berduka adalah untuk berdamai dengan situasi yang sudah nggak bisa dirubah dan sesuatu yang nggak bisa dikontrol. Benar juga. Tapi kalau menurut saya, yang nggak bisa dirubah dan dikontrol itu situasinya. Kalau responnya masih bisa. Selanjutnya bukunya bilang lagi, pengalaman subjektif itu lebih punya peran nentuin reaksi seseorang, ketimbang faktor situasi eksternalnya.

    Trus gimana caranya berdamai dengan salah satu keadaan yang bisa dibilang uncontrollable shock ini? Sebelumnya, si buku juga membahas tentang suatu eksperimen yang findingnya: subjek yang diekspos sama uncontrollable shock lebih banyak nunjukkin perilaku yang mirip dengan kriteria depresi mayor sesuai definisi DSM (Diagnostic and Statistical Manual), dibanding mereka yang diekspos sama controllable shock. Menurut saya, balik lagi ke pengalaman subjektif tadi yang nentuin reaksi. Namanya pengalaman subjektif, tentu saja berbeda-beda tiap orang, termasuk waktu yang dibutuhkan untuk grieving.

    Dalam kitab suci ada disebutin bahwa segala sesuatu ada waktunya. Ada waktunya untuk menangis/meratap. Isaac Newton bilang waktu itu absolut. Einstein bilang waktu itu relatif. Dua-duanya punya penjelasan akan konteksnya masing-masing. Yang lebih penting adalah gimana memberi waktu dan gimana respon dalam menjalani momen tersebut. Kerabat most likely akan menghibur dengan bilang take your time (untuk berduka), time will heal, which is nggak ada salahnya basically.

    Mungkin sempat terlintas: biar nggak larut dalam sedih, apa nggak usah diberi waktu aja sekalian? Menurut saya, ada dua hal. Pertama: agak susah kalau nggak berduka, ketika ditinggalkan orang yang dicintai untuk selamanya. Kedua: Kalaupun berhasil ditahan-tahan, tapi dalam diri masih ada rasa denial dan sedih terpendam, nanti bakal termanifestasi pas lagi ngelakuin hal-hal untuk ngalihin perasaan tesebut. Dan kadang manifestasinya can be worse karena unfinished feeling yang di-suppress terus-terusan. Jadi mendingan diberi waktu dan embrace semua perasaan itu.

    Tapi sampai kapan? Ini mungkin aspek absolut dari memberi waktu itu: ada startnya, ada endingnya. Endingnya kapan, itu yang relatif karena tiap orang beda-beda. Time will heal yes, tapi kalau berkabung terus-terusan dan berkubang dalam air mata yang sampai udah kering kubangannya tapi ogah naik, time can never heal no matter how much time it gives. Susah banget dong? “Nobody said it was easy” kalau kata Coldplay. Ini orang yang sudah bersama sampai setengah usia bahkan seumur hidup kita. Orang yang mungkin jadi alasan kita menikmati hidup. Tiba-tiba orang ini ga bakal ada lagi di dunia kita. Ini kok kayak rancangan kecelakaan? Sebelah mana rancangan damai sejahteranya? Apa kabar masa depan penuh harapan? Setidaknya pikiran serupa mungkin sempat terlintas.

    Tapi, ada lagi yang kitab suci bilang. Kita nggak bisa menyelami pekerjaan Tuhan, betapapun kita berlelah-lelah mencari jawabannya. Kita yang most likely udah ada di level perkembangan kognitif paling tinggi, Formal Operational, yang udah terbiasa berpikir dan bernalar secara sistematis, bakal cape sendiri kalau nurutin kepala untuk terus nyari kenapa dan kok bisanya. Segitu misterius pekerjaan tanganNya sampai bikin plot twist model gini. Bahkan sampai di tahap kita menyangsikan janjiNya karena nggak sesuai dengan yang dipahami (kayak paragraf sebelumnya itu). Atau mungkin sebaliknya: mengimani janji Tuhan, berdoa dan nyanyi berulang-ulang sampai alam bawah sadarnya terbuai dengan apa yang diimani, itu yang harus terjadi – lupa kalau sebenarnya kita sedang menyampaikan permohonan, bukan sedang bertitah.

    Trus harus ngapain? Ga percaya, salah. Percaya, salah. Pertama, terima dulu kenyataan kalau yang terjadi bukan sesuai dengan pemahaman kita akan janji Tuhan atau dengan yang kita imani. Nggak usah diterusin mikirin alasannya. Kalaupun ketemu jawabannya, nggak bakal bisa merubah yang udah terjadi juga. Tapi gimana mau terima kenyataan kalau hampir setiap saat terbayang-bayang semuanya tentang the deceased, atau sosok yang sudah pergi ini?

    Ya itulah kenyataan baru yang harus dihadapi. Si buku juga bilang, bahkan pada orang-orang yang sudah mampu beradaptasi dan lebih stabil, rasa sakit karena kehilangan itu may remain for a lifetime. Tapi we will not let it consume us. Jangan sampai rasa sakit dan bayang-bayang itu mengganggu homeostasis (keseimbangan internal tubuh yang memastikan tubuh berfungsi normal) kita secara berkepanjangan.

    Kedua, menjalani grieving sebagai sebuah healing process. Perasaan sedih dan kehilangan adalah reaksi normal dalam proses ini. Mengalami semua perasaan tersebut membuat kita bisa move on lanjutin hidup. Tapi balik ke atas lagi, bahwa itu semua ada waktunya dan tiap orang berbeda-beda periode grievingnya. Selambat apapun prosesnya, jangan sampai stuck. Masih kata buku: Reaksi marah, self-blame, dan depresi yang terus-terusan itu masih dibilang normal. Yang nggak normal itu mereka yang masih actively resists engagement with his or her present life setelah sekian lama. Yang udah nyerah “What is there for me now?”. Nggak ada movement karena emang mereka actively nggak mengizinkan any movement. Keadaan ini bisa mengindikasikan pathological grief dan belakangan uda dimasukkin DSM sebagai Prolonged Grief Disorder. Makanya penting banget untuk tidak menyerah dan memiliki keyakinan untuk pulih lagi.

    Sampai sini, semoga semua pertandingan-pertandingan “sengit” antara apa yang kita tahu dan kita rasain, udah jadi pertandingan yang baik ya, yang bisa bikin kita berdamai dengan (respon diri kita terhadap) situasi seperti ini.

    Halo Papa, tulisan ini adalah bentuk refleksiku. Terus doakan kita ya dari atas sana :)