Thursday, February 23, 2012

Pengendara Motor di Mata Mereka

Pengendara motor itu banyak jenisnya. Ada yang tertib berlalu lintas, ada juga yang kurang tertib. Mungkin hampir sebagian dari kita, pengguna jalan, pernah menemui pengendara motor yang tidak tertib ini - tidak terkecuali para supir taksi. Saya mengangkat topik ini karena bisa dibilang cukup sering saya mendengar komentar mereka tentang pengendara motor.

"Sudah nyalip, ngerem lagi...!!" Sambil membunyikan klakson, supir taksi ini juga ikut mengerem agak mendadak.

Saya akui ulah pengendara motor tersebut cukup membahayakan karena motor tersebut mengerem setelah merebut jalur milik taksi tersebut.

Pernyataan di bawah ini sempat menjadi status update di akun Facebook saya, lengkap dengan pernyataan lain yang meng-counter-nya, diberikan oleh teman saya yang juga adalah pengendara motor:

"How a taxi driver perceives motorcycles in Jakarta: (setelah diklaksonin motor di belakangnya), 'Waah motor-motor ini suka seenaknya, dipikir jalannya sendiri, sudah gitu kalau nyenggol, galak & ngomel-ngomel...haduuh pusing saya!!' (tetap melaju, baru terhindar dari motor-motor yang sudah mepet di kiri-kanannya)"

"How a biker perceives taxi in Jakarta: "Waah ini supir taksi bisa bawa mobil atau nggak sih, dipikirnya jalanannya sendiri, bawa mobil nanggung nggak kasih orang mau lewat, mau masuk jalur lain nggak pakai spion, jadinya motor mesti menghindar, klaksonin aja deh!"

Intinya, selalu ada pengendara yang kurang tertib berlalu-lintas.

Bagaimana dengan pengendara motor yang suka menyelip dari sebelah kanan pengemudi?

"Iya ini saya pepetin aja ke kanan biar motor nggak bisa lewat." (Terjadi ketika sedang mengantri di lampu merah, setelah barusan ada motor yang berusaha menyempil dari kanan supaya bisa maju dan mengantri di depan. Motor itu berhasil, tapi untuk beberapa saat si supir dan pengendara motor saling memelototi).

"Motor itu bukan di kanan, ada jalurnya sendiri kan di kiri (sambil menunjuk ke arah kiri)! Kan repot kalau nyenggol spion. Sudah (pengendara motornya) kabur, spion ini harus ganti sepasang lagi, kan nggak murah Mbak."

Saya hanya senyum-senyum saja menanggapi omongan si supir. Motor memang lajurnya di kiri, tapi ketika sedang mengantri lampu merah, mereka cenderung mencari celah untuk menyelip supaya bisa berada di antrian paling depan, tanpa memandang lagi kiri atau kanan.

Yah, memang harus pintar-pintar berlalu-lintas di Jakarta. Kadang kita sendiri sudah tertib dan ekstra hati-hati, namun orang lain?

"Lebak Bulus? Haduh..."

Ya. Saya rasa itu yang ada di pikiran sebagian supir taksi setelah saya menyebutkan tujuan perjalanan, Lebak Bulus. Beberapa langsung minta maaf - menolak dengan berbagai alasan, antara lain jauh, mau pulang ke pool, mau jemput penumpang lain, dan sebagainya. Saya lebih menghargai mereka yang menolak di depan daripada yang mengiyakan dan akhirnya sedikit merusak perjalanan pulang saya.

Tadi malam, saya pulang menggunakan taksi Blue Bird. Seperti biasa, saya memerhatikan kode di pintu taksi seraya taksi itu meminggirkan mobilnya. SE ****. Saya cukup sering mendapatkan taksi dari pool Halim ini dan semua supirnya baik-baik, termasuk supir dengan pangkat ketua grup aktif yang juga pernah saya dapat dari pool ini (Terbaca di identitas supir dan ada tanda bintang merah).

Shit happens. "Lebak Bulus ya, haduh..." Itu reaksi supir setelah mendengar tujuan yang saya sebutkan.

Saya menjawab,"Iya. Kenapa Pak, nggak bisa?" Saya sudah berpikir akan turun dari taksi ini dan mencari taksi lain.

Tetapi akhirnya supir itu menjawab,"Oh bisa bisa (Seolah berusaha meyakinkan supaya saya nggak turun dari taksinya), tapi maceeeet..." (Menyebut 'macet' dengan nada tinggi sambil menyeringai).

Mendengar jawaban 'lucu' tersebut, saya berkomentar dalam hati, "Pak kalo ngga mau macet, nggak usah jadi supir taksi. Buka warung aja di depan rumah."

Macet itu seharusnya sudah menjadi makanan sehari-hari supir taksi karena yang dihadapi adalah jalanan.

"Nanti lewat Sudirman, kemudian Antasari ya Pak."

Tak ada komentar. Saya beranggapan rute saya sudah jelas karena tak ada pertanyaan maupun sanggahan.

Anda juga tetap perlu memerhatikan jalan yang dilalui sekalipun sudah menyebutkan mengambil rute mana, lewat mana dan sudah diiyakan supir taksi. Jawaban iya tersebut tidak berarti dia paham, dan yang kedua, tidak berarti dia 'setuju'.

"Pak nanti belok kanannya di lampu merah Taman Menteng ya, yang ada 711. Nanti di 711 berhenti sebentar."

"Oh 711. Itu kan harus nyeberang?"

"Nggak usah Pak, kan bisa belok kanan dan berhenti di situ sebentar, jadi nggak usah nyeberang."

Namun di lampu merah sebelum lampu merah yang dimaksud, dia sudah ambil ancang-ancang mau belok kanan.

"Pak kita kan masih lurus, 711 nya kan masih di depan?!"

Di Sudirman. Saya biasa mengambil rute Antasari karena relatif lebih tidak macet dibanding rute-rute lainnya.

"Pak nanti ambil jalur lambat ya, kita lewat Antasari." Saya mengingatkan supir taksi yang belum mengambil ancang-ancang untuk masuk jalur lambat yang sudah tidak jauh lagi itu.

Supir taksi menjawab, kali ini terdengar logat Jawa di jawaban, atau lebih tepatnya sanggahan berikut,"Loh Antasari ini ntar ndak dibuang ke kiri, ke Kemang??" Terdengar nada keberatan juga, sementara taksi tersebut berada dalam posisi tanggung antara mau lurus atau masuk jalur lambat. Mungkin itu penyebab mobil belakang membunyikan klaksonnya.

"Nggak Pak, bukan yang di situ yang ditutup. Lagian dia ditutupnya malem banget, kalo jam segini belom!"

Komentar saya dalam hati,"Pak, saya sama Bapak lebih sering saya yang lewat Antasari loh! Jadi Bapak nggak usah sok tahu deh!"

Ternyata belum berakhir di situ. Tak berapa lama, HP sang supir berbunyi. Supir taksi yang sopan akan minta izin dulu kepada penumpang untuk menerima panggilan dan saya selalu mengizinkan. Yang ini? Sama sekali tidak dan pembicaraan si supir dengan lawan bicara membuat saya geleng-geleng kepala.

"...iya nih, setres dapet yang ke Lebak Bulus..."

Ya sudah, saya menikmati saja sisa perjalanan sampai akhirnya tiba di rumah.

Saya nggak bermaksud komplain di sini, hanya ingin membagikan pengalaman. Lain kali kalau Anda mendapat supir yang kira-kira tidak rela mengantar ke tujuan Anda, jika masih memungkinkan, lebih baik keluar dari taksi dan cari taksi lain saja.

Informasi pool taksi Blue bird - Jakarta

Mungkin ini hanya kebiasaan saya. Setiap saya naik taksi Blue Bird, saya perlu tahu taksi tersebut berasal dari pool mana. Ini memberikan saya gambaran kira-kira daerah mana yang dikuasai supirnya. Contohnya, untuk pulang ke rumah, saya lebih tidak kuatir kesasar dengan taksi kode L.. dibanding dengan taksi kode K... karena yang satu poolnya di Pondok Cabe, yang satu lagi di Kelapa Gading. Asumsinya, supir harusnya menguasai daerah dekat pool taksinya, kecuali supir yang baru bergabung. Beberapa taksi Blue Bird juga dilengkapi dengan perangkat GPS. Secanggih-canggihnya perangkat tersebut, saya lebih senang kalau supirnya juga bisa mengerti jalan tanpa menyetir dengan bingung-bingung.

"Aduh maaf ibu ya, harusnya tadi belok kanan nih kalo dari GPSnya, saya kelewatan tadi"

Pool sebuah taksi Blue Bird dapat diketahui dari dua kode huruf di pintu taksi, selain juga dengan bertanya langsung kepada supirnya. Berikut informasi tentang kode dan pool yang saya dapatkan melalui browsing maupun bertanya langsung kepada supirnya:

A..: Kemayoran. Saya beberapa kali ditolak oleh taksi ini untuk tujuan ke Lebak Bulus, dan saya maklum
B...: Mampang Prapatan, berada tepat di seberang Hotel Maharani
C...: Tanah Kusir
D...: Kramat Jati
E...: Daan Mogot
F...: Rawa Buaya, Cengkareng
G...:Narogong
H...: Cimanggis, Depok
I...: Cipulir
J...: Perigi, Bintaro
K...: Kelapa Gading
L...: Pondok Cabe
M...: Japos, Tangerang
N...: Penggilingan
O...: Ciputat
P...: Puri
R...: Raden Inten
S...: Halim
T...: Pondok Cabe
X...: Kalibata
Y...: Lebak Bulus, sebelah Klinik Mata Nusantara. Ini adalah pool yang belum lama dibuka.

Khusus untuk pool di mal, salah satu mal yang cukup ramai taksi Blue Birdnya adalah Cilandak Town Square (Citos). Beberapa kali saya menunggu taksi di mal ini dan tidak pernah kesulitan mendapatkan taksi Blue Bird. Petugas Blue Bird juga selalu stand-by disini. Sementara di satu mal lainnya yang tidak jauh dari Citos, saya harus mengantri selama kurang lebih 20 menit untuk menunggu taksi Blue Bird. (Memang ini belum seberapa dibandingkan mengantri taksi di Plaza Semanggi atau mal lainnya sewaktu/sehabis hujan; saya hanya mencoba memberi perbandingan). Menurut saya, ini dikarenakan Citos cukup strategis sebagai tempat transit untuk kembali melanjutkan perjalanan (dekat dengan akses tol maupun jalan-jalan utama seperti T.B. Simatupang dan Fatmawati).

Wednesday, February 22, 2012

Bapak Supir dan Taksinya

Bisa dibilang setiap malam saya pulang menggunakan taksi dari kantor saya di daerah Cikini ke rumah saya di daerah Lebak Bulus. Taksi apa? Saya nggak sembarangan pilih taksi karena takut terjadi apa-apa. Biasanya saya bergantian menggunakan Blue Bird atau Express. Syukur-syukur kalau ada taksi Gamya lewat karena taksi dengan warna hijau khas tersebut armadanya masih belum terlalu banyak dan jarang lewat depan kantor.

Pernah sekali naik taksi Putra dan taksi Diamond. Yang kedua itu karena sudah telanjur dipanggilkan rekan kerja saya yang waktu itu juga menunggu taksi. Untungnya tidak terjadi apa-apa dan saya sampai di rumah dengan selamat. Namun setelah itu, taksi Diamond itu mogok tak lama setelah mengantar saya. Memang sewaktu dalam perjalanan, taksi sempat mengisi bensin walaupun hanya sekitar 30 ribu kalau tidak salah.

Saya nggak memandang supir taksi dengan sebelah mata karena menurut saya kita sama-sama bekerja cari duit. Saya juga nggak menyamakan mereka dengan supir bus yang nyetirnya ugal-ugalan dan punya sen kiri 2 (tangan keneknya, tambah 1 lagi kalau dia juga teriak-teriak) walaupun saya juga pernah dapat supir taksi yang nyetirnya ngebut. Adalah hak penumpang untuk memperingatkan supir jika dirasa cara menyetirnya membahayakan. Untungnya juga selama ini saya belum pernah memiliki pengalaman buruk dengan taksi dan supirnya.

Kalau soal supir yang tidak tahu jalan, kadang saya maklum saja. Supir taksi memang punya daerah kekuasaan dimana mereka lebih hafal daerah tersebut dan ada daerah yang mereka kurang hafal. Saya hanya mengambil 1 rute kalau pulang jadi hampir selalu saya lewat rute itu. Pernah suatu kali saya dapat supir taksi yang tidak tahu bedanya Antasari dan Fatmawati tapi belagak tahu saja. Akhirnya sebelum turun, saya tegur dia baik-baik dan lebih baik bilang sebelumnya kalau tidak tahu jalan.

Saya berpendapat seperti di atas bukan karena saya atau keluarga saya adalah kerabat pendiri perusahaan taksi. Saya hanya ingin membuat perjalanan pulang saya menyenangkan tanpa perlu selalu teringat pada stereotip terhadap mereka, bapak supir dan taksinya. (Oh ya, tidak selalu Bapak. Beberapa kali saya dapat supir Blue Bird perempuan. Yang paling saya ingat, saya pernah dapat supir perempuan mirip Anggun. Rambutnya tergerai panjang, kurus, dan dari samping wajahnya mirip sekali dengan pelantun lagu 'Hanyalah Cinta' itu. Supir dari pool J (Perigi - Bintaro) tersebut juga menyapa saya dengan suara yang tidak kalah beratnya).

Tuesday, February 21, 2012

Berbagi

Banyak hal-hal baru di sekitar kita. Di sini, saya ingin berbagi tentang hal-hal unik yang saya alami. Hal-hal unik tersebut mulai terjadi sejak saya menjadi pengguna rutin taksi dalam setahun terakhir ini. Tentu tidak hanya di taksi saja. Banyak juga hal-hal lain yang bisa dibahas.

Semoga apa yang saya bagikan bermanfaat bagi teman-teman semua :)