Thursday, February 23, 2012

"Lebak Bulus? Haduh..."

Ya. Saya rasa itu yang ada di pikiran sebagian supir taksi setelah saya menyebutkan tujuan perjalanan, Lebak Bulus. Beberapa langsung minta maaf - menolak dengan berbagai alasan, antara lain jauh, mau pulang ke pool, mau jemput penumpang lain, dan sebagainya. Saya lebih menghargai mereka yang menolak di depan daripada yang mengiyakan dan akhirnya sedikit merusak perjalanan pulang saya.

Tadi malam, saya pulang menggunakan taksi Blue Bird. Seperti biasa, saya memerhatikan kode di pintu taksi seraya taksi itu meminggirkan mobilnya. SE ****. Saya cukup sering mendapatkan taksi dari pool Halim ini dan semua supirnya baik-baik, termasuk supir dengan pangkat ketua grup aktif yang juga pernah saya dapat dari pool ini (Terbaca di identitas supir dan ada tanda bintang merah).

Shit happens. "Lebak Bulus ya, haduh..." Itu reaksi supir setelah mendengar tujuan yang saya sebutkan.

Saya menjawab,"Iya. Kenapa Pak, nggak bisa?" Saya sudah berpikir akan turun dari taksi ini dan mencari taksi lain.

Tetapi akhirnya supir itu menjawab,"Oh bisa bisa (Seolah berusaha meyakinkan supaya saya nggak turun dari taksinya), tapi maceeeet..." (Menyebut 'macet' dengan nada tinggi sambil menyeringai).

Mendengar jawaban 'lucu' tersebut, saya berkomentar dalam hati, "Pak kalo ngga mau macet, nggak usah jadi supir taksi. Buka warung aja di depan rumah."

Macet itu seharusnya sudah menjadi makanan sehari-hari supir taksi karena yang dihadapi adalah jalanan.

"Nanti lewat Sudirman, kemudian Antasari ya Pak."

Tak ada komentar. Saya beranggapan rute saya sudah jelas karena tak ada pertanyaan maupun sanggahan.

Anda juga tetap perlu memerhatikan jalan yang dilalui sekalipun sudah menyebutkan mengambil rute mana, lewat mana dan sudah diiyakan supir taksi. Jawaban iya tersebut tidak berarti dia paham, dan yang kedua, tidak berarti dia 'setuju'.

"Pak nanti belok kanannya di lampu merah Taman Menteng ya, yang ada 711. Nanti di 711 berhenti sebentar."

"Oh 711. Itu kan harus nyeberang?"

"Nggak usah Pak, kan bisa belok kanan dan berhenti di situ sebentar, jadi nggak usah nyeberang."

Namun di lampu merah sebelum lampu merah yang dimaksud, dia sudah ambil ancang-ancang mau belok kanan.

"Pak kita kan masih lurus, 711 nya kan masih di depan?!"

Di Sudirman. Saya biasa mengambil rute Antasari karena relatif lebih tidak macet dibanding rute-rute lainnya.

"Pak nanti ambil jalur lambat ya, kita lewat Antasari." Saya mengingatkan supir taksi yang belum mengambil ancang-ancang untuk masuk jalur lambat yang sudah tidak jauh lagi itu.

Supir taksi menjawab, kali ini terdengar logat Jawa di jawaban, atau lebih tepatnya sanggahan berikut,"Loh Antasari ini ntar ndak dibuang ke kiri, ke Kemang??" Terdengar nada keberatan juga, sementara taksi tersebut berada dalam posisi tanggung antara mau lurus atau masuk jalur lambat. Mungkin itu penyebab mobil belakang membunyikan klaksonnya.

"Nggak Pak, bukan yang di situ yang ditutup. Lagian dia ditutupnya malem banget, kalo jam segini belom!"

Komentar saya dalam hati,"Pak, saya sama Bapak lebih sering saya yang lewat Antasari loh! Jadi Bapak nggak usah sok tahu deh!"

Ternyata belum berakhir di situ. Tak berapa lama, HP sang supir berbunyi. Supir taksi yang sopan akan minta izin dulu kepada penumpang untuk menerima panggilan dan saya selalu mengizinkan. Yang ini? Sama sekali tidak dan pembicaraan si supir dengan lawan bicara membuat saya geleng-geleng kepala.

"...iya nih, setres dapet yang ke Lebak Bulus..."

Ya sudah, saya menikmati saja sisa perjalanan sampai akhirnya tiba di rumah.

Saya nggak bermaksud komplain di sini, hanya ingin membagikan pengalaman. Lain kali kalau Anda mendapat supir yang kira-kira tidak rela mengantar ke tujuan Anda, jika masih memungkinkan, lebih baik keluar dari taksi dan cari taksi lain saja.

No comments:

Post a Comment