Friday, June 30, 2017

GrabHitch Car Review – Definisi Baru “Pengemudi” dan “Penumpang”


Apa sih GrabHitch itu? GrabHitch adalah layanan perjalanan dimana pengemudinya memiliki rute yang searah dengan penumpang. Jadi ini berbeda dengan GrabShare atau UberPool, dimana yang memiliki rute searah adalah para penumpang yang kemudian dipasangkan dalam satu perjalanan, gak peduli rute pengemudinya. Layanan GrabHitch awalnya menggunakan motor yang dikenal dengan GrabHitch Bike. Belakangan sekitar bulan Mei 2017, GrabHitch meluncurkan layanan yang sama namun menggunakan mobil, yaitu GrabHitch Car. Kalau buka appnya, bakal kelihatan disitu dengan nama: GrabHitch (Nebeng) Bike dan GrabHitch (Nebeng) Car.

Pengemudi GrabHitch Car (istilahnya hitch driver) bukan pengemudi komersial seperti pengemudi taksi online pada umumnya. Mereka sebagian besar adalah para profesional, jadi gak dengan sengaja nyediain diri buat jadi pengemudi. Mereka bebas nentuin order yang mau diambil berdasarkan kecocokan lokasi dan waktu penjemputan penumpang  dengan jadwal mereka. Jadi, kalau pengemudi GrabHitch Car mengambil sebuah order, maka yang dijemput nanti (istilahnya hitch buddy) akan diantar (baca: diberikan tebengan) sampai tempat tujuan yang disepakati. 

Biayanya juga lebih murah dibandingkan taksi online biasa dan anti high fare, karena penumpang hanya dikenakan biaya pengganti bensin, parkir, tol yang memang sehari-hari dikeluarkan pengemudi, baik ada penumpang atau tidak. GrabHitch Car sebenarnya adalah layanan social carpooling, dimana how much a driver will earn gak menjadi faktor utama kenapa seorang pengemudi GrabHitch Car ngedaftarin mobilnya atau mutusin untuk ngambil order.   

Pengemudi GrabHitch Car juga bukan yang model stand by terus di jalan nungguin order masuk. Kalau mau ngelakuin perjalanan, perlu advanced booking dari appnya untuk masukkin lokasi dan waktu penjemputan, lalu tunggu sampai dapat notifikasi adanya pengemudi GrabHitch yang mau menjemput (baca: memberikan tebengan). Jika menggunakan taksi online biasa, lokasi penjemputan sifatnya mutlak dan harus disanggupi oleh pengemudi yang mengambil order tersebut. 

Di GrabHitch Car, bisa aja terjadi penumpang tak kunjung dapat konfirmasi  sampai 15 menit sebelum waktu penjemputan. Beberapa saat kemudian, ada calon pengemudi yang SMS apakah bersedia menunggu 2 jam lagi karena dia masih ada kerjaan di kantor. Atau penumpang yang di-SMS apakah bersedia untuk dijemput di kantor pengemudi (yang berdekatan dengan lokasi penjemputan – tapi  kalau jalan sambil nenteng-nenteng tas, laptop, tas makanan, dan kue ulang tahun ya lumayan juga) karena simply dia gak lewat situ. Intinya, lokasi dan waktu penjemputan di GrabHitch Car sifatnya lebih fleksibel karena bergantung dari jadwal dan kesediaan pengemudi. Jadi, jika kalian harus banget dijemput sesuai waktu penjemputan atau gak bisa kemana-mana selain dijemput di lokasi yang dimasukkin, lebih baik pakai layanan taksi online biasa atau sekalian aja taksi konvensional.

                Kalau di appnya, GrabHitch Car membolehkan penumpang membawa sampai 3 orang lagi. Kecuali kalian dan teman-teman/keluarga kalian sudah paham betul fleksibilitas layanan ini (baca: ketidakpastian lokasi dan waktu penjemputan, didahului oleh ketidakpastian bakal dapat pengemudinya atau gak), saya juga masih menyarankan untuk menggunakan layanan taksi online biasa jika ada lebih dari 1 penumpang. Keterangan jumlah penumpang pada waktu booking juga penting. Jika terjadi penambahan jumlah penumpang, langsung infoin pengemudi. Gak mau kan, kalian request untuk 1 orang lalu mendadak ketambahan 2 orang. Karena gak infoin pengemudinya kalo penumpang jadi 3 orang, kalian tahunya belakangan kalau pengemudinya ternyata membawa serta istri dan ayahnya juga. Apart from that, menurut saya pengemudi seperti di atas adalah contoh bahwa budaya berbagi masih cukup dirasakan, sebagai cerminan dari bentuk keramahan dan tolong-menolong.

                Ridzki Kramadibrata, Managing Director Grab Indonesia, juga mengatakan bahwa layanan GrabHitch Car adalah platform yang sesuai dengan budaya berbagi, dimana budaya tersebut diminati di Indonesia (dikutip dari TribunNews). Sebelum budaya berbagi ini terwujud, ada faktor yang mendasarinya, berkaitan dengan apa yang ingin didapat dari berbagi perjalanan tersebut. Ini  yang menjadi alasan seorang pengemudi GrabHitch Car menentukan order yang akan diambilnya, yang saya rasa lebih dari sekedar kecocokan waktu dan lokasi penjemputan.

Salah satu persamaan antara pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya adalah mereka sama-sama commuters. Ada sekian jam yang dihabiskan di jalanan untuk menuju atau pulang dari tempat kerja. Macet yang sering dialamin para commuters selama perjalanan bisa lumayan banyak menguras energi. Rasanya gak cuma uang aja yang kebuang, tapi juga waktu dan pikiran. Gabungan ketiganya bisa nyebabin apa yang disebut commuting stress atau stres selama perjalanan menuju atau dari tempat kerja. Koslowsky (1995) dalam bukunya: Commuting Stress, menggambarkan salah satu cara menghadapi commuting stress adalah menggunakan palliative tactic that focus on regulating emotional distress. Ada banyak cara lagi di dalamnya, salah satunya adalah diverting attention atau mengalihkan perhatian.

Sadar atau tidak sadar, seseorang butuh perhatiannya teralihkan dari sumber stres agar pikirannya gak terpaku pada satu hal saja. Apa pun yang dilakuin untuk mengalihkan perhatian sifatnya adalah membuat seseorang nikmatin sesuatu yang lain dengan rileks sehingga bisa lupa sejenak sama sumber stres. Dalam situasi commuters yang seorang diri melakukan perjalanan dan sedang terjebak kemacetan di mobil, gak banyak yang bisa dilakuin untuk mengalihkan perhatian selain menyibukkan diri dengan gadget. Biasanya sih end up dengan ngeliat lagi ke kaca depan mobil setelah udahan sama gadget dan membatin “hah kok masih macet”.

Ketika gadget gak cukup optimal untuk mengalihkan perhatian, diperlukan pengalih perhatian yang lebih interaktif (baca: lawan bicara) sepanjang perjalanan, terutama di kala macet. Interaksi yang sifatnya face to face lebih bisa membuat seseorang merasa “senasib” dengan lawan bicara daripada interaksi yang sifatnya virtual (dalam situasi ini berarti senasib sama-sama kena macet)Dan karena merasa senasib itu secara gak langsung mengakui adanya kesamaan, sebuah obrolan lebih mungkin berkembang dengan lawan bicara yang dirasa punya kesamaan, sekalipun yang diobrolin pertama adalah meratapi kemacetan. 

Awalnya mungkin hanya sebatas kebutuhan nemuin pengalih perhatian alternatif, tapi begitu mereka merasakan (baik sadar atau tidak sadar) perhatiannya benar-benar teralihkan, ketika melihat ke kaca depan mereka tidak lagi membatin yang sama. Bisa aja lagi mikirin topik obrolan apalagi yang mau diobrolin atau bahkan mikirin siapa lagi yang sama-sama dikenal ketika mereka ternyata kenal dengan 1 atau beberapa orang yang sama. Saat itu terjadi, seseorang di samping itu gak sekedar jadi lawan bicara, tapi lebih sebagai teman yang nemenin selama perjalanan.

                 Ini sejalan sama apa yang diyakini Grab, ada sebagian commuters yang menganggap bahwa transportasi bukanlah sekedar transaksi, tapi bisa menjadi sebuah kesempatan untuk mendapatkan teman sesama commuters (dikutip dari DealStreetAsia). Namanya kesempatan, bisa kejadian, bisa nggak. Semua tergantung dari kualitas interaksi face to face yang bisa terjadi selama di mobil. Sebelum interaksi tersebut terjadi, harus ada kebutuhan akan pengalih perhatian alternatif yang dirasakan commuters, yang akhirnya mempertemukan mereka di dalam satu mobil sebagai seorang pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya.

                Persamaan kebutuhan tersebut bisa menjadi faktor yang mendasari terwujudnya budaya berbagi itu, bahwa pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya sama-sama butuh lawan bicara yang bisa mengalihkan perhatian dari kemacetan. Karakteristik dari budaya tersebut, sebagai nilai yang cukup mengakar dalam masyarakat, tanpa sadar mengikis gap antara pengemudi dan penumpang, membuat mereka terlihat lebih sebagai sepasang teman perjalanan, the driver and the buddy. Memang yang terjadi bisa saja gak selalu demikian. Gak ada tuh mikirin pengalih perhatian sebelumnya. Simply karena biaya lebih murah aja (dari sisi penumpang) atau sebatas ngisi kursi kosong dan kebetulan jadwalnya pas (dari sisi pengemudi GrabHitch Car). Atau niat untuk ngurangin jumlah kendaraan dan polusi (bisa datang dari sisi keduanya), walaupun manfaatnya gak langsung bisa dirasain. 

               Apa pun alasannya, kesempatan terjadinya interaksi itu selalu ada. Dan ketika interaksi tersebut lebih diingat daripada perjalanan itu sendiri, ada alasan kuat untuk gak bepergian seorang diri lagi pada perjalanan berikutnya. Mampukah GrabHitch Car menjadi salah satu alasan kuat tersebut, dengan terus mempertemukan sesama commuters yang memiliki kebutuhan yang sama? 

Saturday, June 3, 2017

Tips Aman Naik Taksi (Post from 2012)

Ketika Anda mengetahui bahwa ada orang lain mencemaskan Anda saat Anda menunggu taksi, apa menurut Anda yang ada di pikiran orang tersebut? Pertama, mungkin hari sudah larut malam. Kedua, hujan mulai mengguyur. Ketiga, keduanya terjadi bersamaan.

"Ya udahlah, ini udah telpon taksinya kok ntar lagi dateng"

"Iya ini masih ada satpam kok di bawah tenang aja"

Mungkin inilah sebagian respon yang kerap kita berikan terhadap mereka yang mencemaskan kita, atau paling tidak mereka yang suka berpesan kepada kita agar hati-hati dalam mencari taksi. Saya yakin mereka berpesan seperti itu bukannya tanpa alasan. Tidak sedikit kejahatan yang terjadi pada saat menunggu taksi atau bahkan ketika sudah di dalam taksi.
Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan supaya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan selama menunggu taksi maupun ketika sudah berada di dalamnya.

Apabila sudah malam dan Anda takut untuk berdiri menunggu taksi sendirian, mintalah satpam di kantor atau petugas lainnya untuk mencarikan Anda taksi sehingga Anda tidak perlu berdiri di pinggir jalan menunggu. Imbalan 2 - 5 ribu menurut saya cukup sebagai ganti mereka mencarikan taksi. Alternatif lain adalah memesan taksi via telepon. Tinggal menyebutkan alamat tempat Anda dijemput dan operator akan memberikan estimasi berapa lama taksi akan tiba di tempat Anda. Dalam situasi hujan mengguyur atau sehabis hujan, oeprator pun masih melayani telepon Anda walaupun paling cepat 45 menit atau 1 jam taksi bisa tiba di tempat Anda.

Apabila Anda harus berdiri menunggu taksi, berdirilah di tempat yang terang, atau tempat yang terlihat (misalnya dekat pos satpam atau dekat tukang berjualan). Selain memudahkan taksi kosong melihat Anda, berdiri di tempat-tempat tersebut membantu menghindarkan Anda dari hal-hal tak terduga yang mungkin menimpa. Selain mereka yang bertanya tentang informasi jalanan/gedung, jangan meladeni kendaraan yang menepi kepada Anda. Ketika menunggu taksi, pernah ada mobil yang menepi ke arah saya dan membuka kaca. Awalnya saya mengira mobil tersebut menanyakan alamat. Ternyata seorang cowok iseng yang mengajak kenalan.

Ketika menunggu taksi, sebisa mungkin jangan terlalu terfokus kepada ponsel Anda karena perhatian bisa tertuju hanya kepada benda tersebut dan tidak awas akan situasi sekitar. Plus Anda bisa kelewatan taksi kosong yang baru saja melintas di depan hidung Anda.

Khusus untuk taksi Blue Bird, ketika taksi biru kosong tersebut sudah menepi ke arah Anda, saya biasa memperhatikan kode di lambung taksi tersebut, kemudian mempertimbangkannya sesuai tempat tujuan saya. Namun hal ini tidak selalu perlu dilakukan ketika Anda hendak mencari taksi Blue Bird, terutama ketika sedang buru-buru. Hanya saja, beberapa taksi tidak mau menuju daerah-daerah tertentu yang menurut mereka sudah terlalu jauh dari pool. Dua kali saya ditolak oleh taksi dari pool Kemayoran untuk menuju tempat tinggal saya.

Khusus untuk taksi Express (atau mungkin taksi lainnya juga), apabila Anda sudah berada di dalam taksi, pastikan Anda mengunci sendiri pintu tempat Anda masuk, dan pintu belakang sebelahnya karena setahu saya taksi Express tidak memiliki sistem pengunci pintu otomatis.

Ketika sudah berada di dalam taksi, selelah apapun Anda, usahakan jangan sampai tertidur di dalam taksi, kecuali ada orang lain yang juga bersama Anda. Beberapa supir taksi segan membangunkan penumpangnya untuk bertannya mau lewat mana sehingga mereka mengambil jalan sesuai pemikiran mereka. Ada baiknya untuk langsung memberitahukan rute mana yang akan diambil begitu Anda masuk ke dalam taksi.

Apabila supir taksi tiba-tiba menepikan mobilnya, tanyakan untuk keperluan apa. Biasanya mereka mau membeli minum, membetulkan kap bagasi yang kurang kencang, atau ingin buang air kecil. Di luar dari alasan tersebut, Anda perlu hati-hati dan pastikan pintu tetap terkunci dari dalam.

Di luar hal-hal di atas, ada baiknya Anda selalu berhati-hati dari memilih taksi sampai sesaat sebelum Anda turun. Yang juga penting adalah pastikan tidak ada barang-barang Anda yang tertinggal di taksi ketika hendak turun :)

The Forbidden Pleasure


Tryon Edwards once said: “Sinful and forbidden pleasures are like poisoned bread; they may satisfy appetite for the moment, but there is death in them at the end”. The ideal one is where the baker does not display this kind of bread in the store. Well, ideal things do not always happen. Knowing the bread is poisoned, there is a hungry consumer that decides to take bites of the bread. After his second or third bites, he does not want to finish it. Another consumer is a very hungry one that keeps enjoying the bread until it is finished.

There are reasons why some pleasures are classified as forbidden. I believe the purpose is to avoid death at the end as well, though it does not always relate to the loss of life. However, a recent study done by Truong et al in 2013: An unforgettable apple: Memory and attention for forbidden objects showed that when individuals are forbidden from everyday objects, our minds and brains pay more attention to them. Imagine how difficult it can be when the object now is a pleasure, something we are look forward to enjoying it. 

 When men lay eyes on a woman who successfully had their undivided attention, I might say they are stupefied for a moment. Louann Brizendine in one of her book, The Male Brain, indicates that when men encounter this situation, they are practically oblivious to everyone but the woman. Suddenly, all they could think about was how to get her attention. Without being consciously aware of it, men were following the commands of their ancient mating brain. Since the process is rather “autopilot”, it is difficult for men to prevent this from happening in their mind. Now it depends on how much they let their logic involved here. It is when they decide how far this unconscious process takes them through, that is still considered acceptable, in relation to what they value most in life.

One easy example is to start being aware of each other’s relationship status. I bet when men are attracted to a woman, they will find out her relationship status – with or without the woman knowing it  so they can adjust what to do next. Ideally, only if both men and the woman are available can the process be developed further. However, knowing one or both are not officially available, sometimes the process does not necessarily end. Men’s ancient mating brain can try to unconsciously deceive them by blurring the definition of available and acceptable that encourages men to find out further whether she is “available”.

 That is why some men are tempted to start building interaction with the woman though, where she is obviously taken. The way they build interaction varies from a very obvious one – clearly show (only) to the woman – that makes her wonder does she make herself clear enough regarding her availability, to a very subtle one that requires a very detailed woman to notice such cues, which can also leave her wondering. In the latter, the woman can wonder the same, but before that, the more fundamental confusion is usually whether it is a cues or he is just trying to be nice.

During the initial stage of the interaction, men's logic continuously reiterates the consequences if they keep moving forward, but somehow they see this as 2 independent things: what they feel and what their logic try to warn them. This can be quite catastrophic if men let the process lulled them, where at the beginning it may seems nothing wrong. It is never easy though, as when the ancient mating brain’s desire is not fulfilled, men can start what Louann said as getting a primitive biological craving.  

A married man that seems to value the family most can feel so excited texting a woman using various emoticons, arranging their next meet up, where he just had the 13th wedding anniversary and maybe after kissing his wife goodnight. Or a newly-wed man can engage in a whole day virtual chat with a woman and close the chat with sending her a song “Something about Us”. Or another man that requests something to a woman, but he aborted it because he does not want his fiancĂ©e know.

                The above examples show how the unconscious process manifests in men’s behavior through different ways, sometimes neglecting the fact of being off the market and all the consequences behind. The dangerous part is when they start to develop feeling to the woman. It starts when they experience a feeling of excitement called lust, then sometimes it is mistakenly called as love, where actually it remains just a lust. Even if it is really a love feeling, I believe this is not what they anticipate when they started the interaction with the woman. Some men can finally confess the feeling to the woman that they love her, even if they base the confession on the lust feeling – but yes, sometimes it is difficult to differentiate between lust and love. Others decide not to confess anything, where they see no points of confessing something forbidden.

Recalling the poisoned bread analogy, now it depends whether men want to play the hungry costumer that decides to step back, or a very hungry one who continue to the next behavior manifestation. If they decide to step back, they will have to conquer all the craving inside and listen to the logic. Congratulations for understanding the existence of forbidden pleasure.  If they decide to continue, help yourself, but ask your conscience to consider this: You could have broken no heart, but you decided to have 2 hearts (or 3 including yours) broke at once.