Apa sih GrabHitch itu? GrabHitch adalah layanan perjalanan
dimana pengemudinya memiliki rute yang
searah dengan penumpang. Jadi ini berbeda dengan GrabShare atau UberPool,
dimana yang memiliki rute searah adalah para penumpang yang kemudian
dipasangkan dalam satu perjalanan, gak peduli rute pengemudinya. Layanan GrabHitch
awalnya menggunakan motor yang dikenal dengan GrabHitch Bike. Belakangan sekitar
bulan Mei 2017, GrabHitch meluncurkan layanan yang sama namun menggunakan
mobil, yaitu GrabHitch Car. Kalau buka appnya,
bakal kelihatan disitu dengan nama: GrabHitch (Nebeng) Bike dan GrabHitch
(Nebeng) Car.
Pengemudi GrabHitch Car (istilahnya hitch driver) bukan pengemudi komersial seperti pengemudi taksi
online pada umumnya. Mereka sebagian besar adalah para profesional, jadi gak
dengan sengaja nyediain diri buat jadi pengemudi. Mereka bebas nentuin order yang
mau diambil berdasarkan kecocokan lokasi dan waktu penjemputan penumpang dengan jadwal mereka. Jadi, kalau pengemudi
GrabHitch Car mengambil sebuah order, maka yang dijemput nanti (istilahnya hitch buddy) akan diantar (baca: diberikan
tebengan) sampai tempat tujuan yang disepakati.
Biayanya juga lebih murah
dibandingkan taksi online biasa dan anti high
fare, karena penumpang hanya dikenakan biaya pengganti bensin, parkir, tol
yang memang sehari-hari dikeluarkan pengemudi, baik ada penumpang atau tidak. GrabHitch
Car sebenarnya adalah layanan social
carpooling, dimana how much a driver
will earn gak menjadi faktor utama kenapa seorang pengemudi GrabHitch Car ngedaftarin
mobilnya atau mutusin untuk ngambil order.
Pengemudi GrabHitch Car juga bukan yang model stand by terus di jalan nungguin order
masuk. Kalau mau ngelakuin perjalanan, perlu advanced
booking dari appnya untuk masukkin
lokasi dan waktu penjemputan, lalu tunggu sampai dapat notifikasi adanya
pengemudi GrabHitch yang mau menjemput (baca: memberikan tebengan). Jika
menggunakan taksi online biasa, lokasi penjemputan sifatnya mutlak dan harus disanggupi
oleh pengemudi yang mengambil order tersebut.
Di GrabHitch Car, bisa aja
terjadi penumpang tak kunjung dapat konfirmasi
sampai 15 menit sebelum waktu penjemputan. Beberapa saat kemudian, ada
calon pengemudi yang SMS apakah bersedia menunggu 2 jam lagi karena dia masih
ada kerjaan di kantor. Atau penumpang yang di-SMS apakah bersedia untuk
dijemput di kantor pengemudi (yang berdekatan dengan lokasi penjemputan – tapi kalau jalan sambil nenteng-nenteng tas, laptop,
tas makanan, dan kue ulang tahun ya lumayan juga) karena simply dia gak lewat situ. Intinya, lokasi dan waktu penjemputan di
GrabHitch Car sifatnya lebih fleksibel karena bergantung dari jadwal dan kesediaan
pengemudi. Jadi, jika kalian harus banget dijemput sesuai waktu penjemputan
atau gak bisa kemana-mana selain dijemput di lokasi yang dimasukkin, lebih baik
pakai layanan taksi online biasa atau sekalian aja taksi konvensional.
Kalau di appnya, GrabHitch Car membolehkan
penumpang membawa sampai 3 orang lagi. Kecuali kalian dan teman-teman/keluarga
kalian sudah paham betul fleksibilitas layanan ini (baca: ketidakpastian lokasi
dan waktu penjemputan, didahului oleh ketidakpastian bakal dapat pengemudinya
atau gak), saya juga masih menyarankan untuk menggunakan layanan taksi online
biasa jika ada lebih dari 1 penumpang. Keterangan jumlah penumpang pada waktu booking juga penting. Jika terjadi
penambahan jumlah penumpang, langsung infoin pengemudi. Gak mau kan, kalian request untuk 1 orang lalu mendadak
ketambahan 2 orang. Karena gak infoin pengemudinya kalo penumpang jadi 3 orang,
kalian tahunya belakangan kalau pengemudinya ternyata membawa serta istri dan
ayahnya juga. Apart from that, menurut
saya pengemudi seperti di atas adalah contoh bahwa budaya berbagi masih cukup
dirasakan, sebagai cerminan dari bentuk keramahan dan tolong-menolong.
Ridzki Kramadibrata,
Managing Director Grab Indonesia, juga mengatakan bahwa layanan GrabHitch Car
adalah platform yang sesuai dengan
budaya berbagi, dimana budaya tersebut diminati di Indonesia (dikutip dari TribunNews). Sebelum budaya berbagi ini terwujud,
ada faktor yang mendasarinya, berkaitan dengan apa yang ingin didapat dari
berbagi perjalanan tersebut. Ini yang
menjadi alasan seorang pengemudi GrabHitch Car menentukan order yang akan
diambilnya, yang saya rasa lebih dari sekedar kecocokan waktu dan lokasi
penjemputan.
Salah satu persamaan antara pengemudi GrabHitch Car dan
penumpangnya adalah mereka sama-sama commuters.
Ada sekian jam yang dihabiskan di jalanan untuk menuju atau pulang dari
tempat kerja. Macet yang sering dialamin para commuters selama perjalanan bisa lumayan banyak menguras energi. Rasanya
gak cuma uang aja yang kebuang, tapi juga waktu dan pikiran. Gabungan ketiganya
bisa nyebabin apa yang disebut commuting
stress atau stres selama perjalanan menuju atau dari tempat kerja. Koslowsky
(1995) dalam bukunya: Commuting Stress, menggambarkan
salah satu cara menghadapi commuting
stress adalah menggunakan palliative
tactic that focus on regulating emotional distress. Ada banyak cara lagi di
dalamnya, salah satunya adalah diverting
attention atau mengalihkan perhatian.
Sadar atau tidak sadar, seseorang butuh perhatiannya
teralihkan dari sumber stres agar pikirannya gak terpaku pada satu hal saja. Apa
pun yang dilakuin untuk mengalihkan perhatian sifatnya adalah membuat seseorang
nikmatin sesuatu yang lain dengan rileks sehingga bisa lupa sejenak sama sumber
stres. Dalam situasi commuters yang
seorang diri melakukan perjalanan dan sedang terjebak kemacetan di mobil, gak
banyak yang bisa dilakuin untuk mengalihkan perhatian selain menyibukkan diri
dengan gadget. Biasanya sih end up dengan ngeliat lagi ke kaca depan
mobil setelah udahan sama gadget dan
membatin “hah kok masih macet”.
Ketika gadget gak
cukup optimal untuk mengalihkan perhatian, diperlukan pengalih perhatian yang
lebih interaktif (baca: lawan bicara) sepanjang perjalanan, terutama di kala
macet. Interaksi yang sifatnya face to
face lebih bisa membuat seseorang merasa “senasib” dengan lawan bicara
daripada interaksi yang sifatnya virtual (dalam
situasi ini berarti senasib sama-sama kena macet). Dan karena merasa senasib
itu secara gak langsung mengakui adanya kesamaan, sebuah obrolan lebih mungkin
berkembang dengan lawan bicara yang dirasa punya kesamaan, sekalipun yang diobrolin
pertama adalah meratapi kemacetan.
Awalnya mungkin hanya sebatas kebutuhan nemuin
pengalih perhatian alternatif, tapi begitu mereka merasakan (baik sadar atau
tidak sadar) perhatiannya benar-benar teralihkan, ketika melihat ke kaca depan
mereka tidak lagi membatin yang sama. Bisa aja lagi mikirin topik obrolan apalagi
yang mau diobrolin atau bahkan mikirin siapa lagi yang sama-sama dikenal ketika
mereka ternyata kenal dengan 1 atau beberapa orang yang sama. Saat itu terjadi,
seseorang di samping itu gak sekedar jadi lawan bicara, tapi lebih sebagai
teman yang nemenin selama perjalanan.
Ini sejalan sama apa yang diyakini Grab, ada
sebagian commuters yang menganggap
bahwa transportasi bukanlah sekedar transaksi, tapi bisa menjadi sebuah kesempatan
untuk mendapatkan teman sesama commuters
(dikutip dari DealStreetAsia). Namanya
kesempatan, bisa kejadian, bisa nggak. Semua tergantung dari kualitas interaksi
face to face yang bisa terjadi selama
di mobil. Sebelum interaksi tersebut terjadi, harus ada kebutuhan akan pengalih
perhatian alternatif yang dirasakan commuters,
yang akhirnya mempertemukan mereka di dalam satu mobil sebagai seorang pengemudi
GrabHitch Car dan penumpangnya.
Persamaan kebutuhan
tersebut bisa menjadi faktor yang mendasari terwujudnya budaya berbagi itu,
bahwa pengemudi GrabHitch Car dan penumpangnya sama-sama butuh lawan bicara
yang bisa mengalihkan perhatian dari kemacetan. Karakteristik dari budaya tersebut,
sebagai nilai yang cukup mengakar dalam masyarakat, tanpa sadar mengikis gap antara pengemudi dan penumpang,
membuat mereka terlihat lebih sebagai sepasang teman perjalanan, the driver and the buddy. Memang yang
terjadi bisa saja gak selalu demikian. Gak ada tuh mikirin pengalih perhatian
sebelumnya. Simply karena biaya lebih
murah aja (dari sisi penumpang) atau sebatas ngisi kursi kosong dan kebetulan
jadwalnya pas (dari sisi pengemudi GrabHitch Car). Atau niat untuk ngurangin
jumlah kendaraan dan polusi (bisa datang dari sisi keduanya), walaupun
manfaatnya gak langsung bisa dirasain.
Apa pun alasannya, kesempatan terjadinya
interaksi itu selalu ada. Dan ketika interaksi tersebut lebih diingat daripada perjalanan itu sendiri,
ada alasan kuat untuk gak bepergian seorang diri lagi pada perjalanan berikutnya. Mampukah GrabHitch Car menjadi salah satu
alasan kuat tersebut, dengan terus mempertemukan sesama commuters yang memiliki kebutuhan yang sama?
No comments:
Post a Comment